Breaking News

Muqawamah: Simbol Perlawanan, Palestina dalam Karya

Muqawamah: Simbol Perlawanan, Palestina dalam Karya
Muqawamah: Simbol Perlawanan, Palestina dalam Karya

Radio Limawaktu, - "Surat dari Ghaza" adalah cerpen mendalam yang ditulis oleh Ghassan Kanafani, seorang sastrawan dan jurnalis Palestina yang meninggalkan warisan besar dalam perjuangan rakyatnya.

Lahir pada 1936, Kanafani adalah tokoh utama dalam The Popular Front for Liberation of Palestine (PFLP), kelompok yang gigih memperjuangkan hak dan kebebasan Palestina.

Lewat karya-karyanya, ia memperkenalkan konsep "muqawamah" atau perlawanan, yang kemudian menjadi simbol perjuangan bangsa Palestina melawan penjajahan.

Kanafani gugur pada tahun 1972 dalam serangan bom yang dipasang Mossad, di Beirut, pada usia 36 tahun. Pengaruh karyanya tetap hidup hingga kini, termasuk cerpen "Surat dari Ghaza" yang menyentuh jiwa.

Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh cerpenis Madura, M. Fudoli Zaini, cerpen ini awalnya terbit di Majalah WAHYU tahun 1983 dan diangkat kembali karena relevansinya yang abadi.

Di balik kata-kata Kanafani, kita disuguhkan dengan potret Ghaza yang sarat duka namun penuh harapan. Bagi pembaca, ini bukan sekadar cerita, tapi adalah panggilan untuk merenungi dan memahami arti perjuangan dan cinta tanah air.

Pulang ke Ghaza

Mustofa, suratmu sudah kuterima. Di sana kau kabarkan bahwa semua yang kubutuhkan sudah selesai, mulai dari persiapan tempat tinggal di Sacramento hingga penerimaanku di jurusan teknik sipil di Universitas California.

Terima kasih atas semuanya, sahabat. Tapi mungkin ini akan mengejutkanmu—aku tak akan pergi ke sana. Keputusanku berubah. Aku tak bisa meninggalkan Ghaza. Entah mengapa, semakin sulit bagiku membayangkan hidup di dunia yang kau deskripsikan, dunia hijau penuh keceriaan. Bayanganku tentang janji-janji kita dahulu—tentang mimpi menjadi orang sukses—seolah kabur. Saat kau pergi ke Kuwait, kita pikir kita sedang membuka jalan baru. Aku masih ingat betul wajahmu saat itu di bandara Kairo, tatapanmu kosong, seakan kau pun ragu dengan langkahmu.

Kini kau telah berhasil, hidupmu lebih baik. Sementara aku, bertahan di Ghaza, bekerja dengan gaji seadanya untuk menghidupi keluargaku yang masih bergantung padaku. Tapi kesedihan terbesarku adalah Ghaza itu sendiri. Kota ini, seperti yang kau katakan, seperti lukisan yang kusam, penuh luka dan penderitaan. Namun, saat aku pulang untuk mengurus beberapa urusan, pandanganku berubah lagi.

Aku bertemu Nadia, keponakanku yang baru berusia tiga belas tahun. Ia terluka parah karena ledakan saat berusaha melindungi adik-adiknya. Kakinya terpotong sampai ke pangkal paha. Aku tak bisa menjelaskan rasa sakit saat melihat wajahnya yang tenang dalam penderitaan yang begitu dalam. Aku tiba-tiba merasa Ghaza bukan lagi sekadar kota yang kutinggalkan di balik, tetapi tanah yang harus kupertahankan, bagian dari diri dan masa depanku.

Nadia memilih tetap berada di tempatnya, bertahan di tanah ini meski penuh ancaman. Ia bisa saja lari, tapi ia bertahan. Mengapa? Karena ada ikatan yang tak bisa dijelaskan, Mustofa. Kini aku paham. Aku memilih tetap di Ghaza, di antara puing-puing dan air mata, untuk meneruskan perjuangan ini. Tak akan ada Sacramento bagiku, Mustofa. Ghaza adalah awal dan akhirnya. (Ghassan Kanafani)

Kuwait, 1956.

0 Komentar

Type and hit Enter to search

Close